Oleh Hamli Syaifullah
Lihat Buku
Diskusi berkaitan antara Islam dan perbankan, sudah mendapatkan titik temu dengan hadirnya Perbankan Syariah. Artinya, Islam sebagai sebuah ajaran tidak menentang keberadaan aktivitas bisnis perbankan. Asalkan, dalam menjalankan aktivitas bisnisnya harus memenuhi atau mengikuti prinsip-prinsip hukum Islam, yaitu meninggalkan apa yang dilarang dan menjalankan apa yang diperintahkan-Nya. Dengan kata lain, aktivitas bisnis Perbankan Syariah dalam konteks Indonesia ialah, mengaplikasikan seluruh fatwa DSN-MUI yang memiliki keterkaitan dengan bisnis perbankan.
Selain itu, Perbankan Syariah yang ada di Indonesia harus mampu mengadopsi nilai-nilai keindonesiaan. Sehingga keberadaannya tidak menyelisihi nilai-nilai universal keindonesiaan yang multi-etnis. Akan tetapi, keberadaan Perbankan Syariah dapat terintegrasi dengan nilai-nilai keindonesiaan. Nilai utama keindonesiaan tersebut adalah “kebersamaan” (mutualism) yang berasaskan “kekeluargaan” (brotherhood) sebagai “kebutuhan bersatu”, serta tuntutan “berdaulat”. Inti dari ketiga hal tersebut adalah tuntutan untuk “keberdaulatan” sebagai suatu bangsa yang merdeka.[1]
Hal tersebut mengindikasikan bahwa, bagaimana caranya agar keberadaan Perbankan Syariah yang membawa nilai-nilai baru dalam aktivitas bisnis perbankan, mampu mendorong kedaulatan bangsa Indonesia di segala dimensi kehidupan. Sehingga keberadaannya mampu mengisi celah-celah kosong yang tak mampu atau belum diisi oleh Perbankan Konvensional. Pada akhirnya, keberadaan Perbankan Syariah di Indonesia akan membawa kemaslahatan untuk Indonesia. Dengan demikian, keberadaan Perbankan Syariah akan saling bergotong-royong dengan Perbankan Konvensional dalam memperkuat perekonomian Indonesia. Karena dengan bergotong-royong, esensinya “bekerjasama” saling isi mengisi dan saling memperkuat. Dalam bergotong-royong tidak bersaing, tetapi bekerjasama.[1]
Dan tentu saja sebaliknya, jangan sampai keberadaan Perbankan Syariah di Indonesia malah menciptakan jurang yang semakin curam antara orang-orang kaya dengan orang-orang miskin. Dengan kata lain, Perbankan Syariah lebih condong memberikan pembiayaan terhadap korporasi dan malah enggan menyalurkan pembiayaan terhadap UMKM. Bila hal tersebut terjadi, maka keberadaan Perbankan Syariah bukan mendorong kedaulatan untuk melakukan pemerataan ekonomi. Akan tetapi, keberadaannya malah semakin mendorong galian jurang pemisah yang telah semakin curam. Maka dari itu, para pelaku bisnis Perbankan Syariah harus terus mengingatkan diri mereka masing-masing bahwa kehadirannya ialah untuk mendorong kedaulatan pemerataan ekonomi dengan cara banyak memberikan pembiayaan untuk UMKM dan masyarakat menengah ke bawah.
Tentu saja, dalam memberikan pembiayaan terhadap UMKM dan masyarakat menengah ke bawah, harus tetap mengikuti prosedur dan ketentuan yang telah ditetapkan oleh regulator, yaitu BI dan OJK. Karena, hampir semua bank menerapkan prosedur dan proses pembiayaan yang sama, sehingga pembiayaan yang diberikan tidak berakhir menjadi pembiayaan macet.[1] Akan tetapi, pemberian pembiayaan mampu menghasilkan simbiosis mutualisme. Dengan kata lain, bank yang memberikan pembiayaan mendapatkan keuntungan, serta nasabah yang diberi pembiayaan usahanya semakin meningkat. Itulah mengapa, keberadaan Perbankan Syariah harus terus didorong untuk berintegrasi terhadap nilai-nilai keindonesiaan demi terciptanya keberdaulatan sebagai sebuah bangsa.
Menurut hemat penulis, nilai-nilai keindonesiaan tersebut tidak melanggar prinsip syariah yang merupakan bagian dari nilai-nilai keislaman. Karena Islam sebagai a aliving culture (kebudayaan yang hidup), mempunyai vitalitas, daya kreativitas dan adaptabilitas yang luar biasa. Dari sumber primer al-Qur’an dan al-Sunnah dengan berbagai kekayaan interpretasi oleh para ulama dan cerdik cendikiawan muslim pada abad-abad berikutnya sesuai potensi dan tingkat interaksi dengan budaya lain.[1] Interaksi tersebut terjadi dengan cara mengawinkan dimensi normativitas ajaran keislaman (baca: al-Qur’an dan al-Hadist dan sumber-sumber hukum Islam lainnya) dengan sistem kerja organisasi modern—dalam hal ini adalah keindonesiaan.[2] Maka dari itu, Islam sebagai sebuah agama tidak hanya dipahami sebatas doktriner-normatif. Akan tetapi, dapat diintegrasikan dengan keilmuan-empiris lainnya.[3] Sehingga mampu menghasilkan nilai-nilai baru dengan mengacu terhadap kaidah al-muhafadzah ala al-qadimin al-shalih wa al-akhdzu bi al-jadid al-ashlah. Dengan demikian, maka keberadaan dan aktivitas bisnis Perbankan Syariah yang ada di Indonesia akan memiliki kekhasan bila dibandingkan dengan Perbankan Syariah di negara-negara lainnya.
Artinya, interaksi antara nilai-nilai keindonesiaan dengan nilai-nilai keislaman yang diadopsi dalam aktivitas bisnis Perbankan Syariah tidak akan memiliki pertentangan yang signifikan. Keduanya, memiliki nilai-nilai yang akan mampu membawa kemaslahatan untuk umat manusia yang ada di Indonesia. Karena esensi keberadaan Perbankan Syariah ialah membawa umat manusia pada kemaslahatan. Dengan demikian, keberadaan Perbankan Syariah sebagai bank yang menerapkan prinsip syariah dalam aktivitas bisnisnya selaras dengan nilai-nilai keindonesiaan yang bersumber dari nilai-nilai Bhinika Tunggal Ika, Pancasila, dan Konstitusi Indonesia.
Dikutip dari buku Pengantar Perbankan Syariah Lihat Buku
Penulis : Hamli Syaifullah
Penerbit : Wawasan Ilmu
Tahun Terbit : 2022
[1] M. Amin Abdullah, Islamic Studies di Perguruan Tinggi: Pendekatan Integratif-Interkonektif, Cet. III, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2012), h. 142-143.
[2] M. Amin Abdullah, Fresh Ijtihad: Manhaj Pemikiran Keislaman Muhammadiyah di Era Disrupsi, Cet. 2, (Yogyakarta: Penerbit Suara Muhammadiyah, 2020), h. 10.
[3] M. Amin Abdullah, Studi Agama: Normativitas dan Historisitas?, Cet. VII, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2021), h. 11.
[1] Kasmir, Kewirausahaan, Edisi Revisi Cet. 8, (Jakarta: Rajagrafindo Persada, 2013), h. 134.
[1] Sri-Edi Swasono, Mutualism & Brotherhood: Dimensi Moral Ekonomi Konstitusi Kita…, h. 29.
[1] Sri-Edi Swasono, Mutualism & Brotherhood: Dimensi Moral Ekonomi Konstitusi Kita, (Yogyakarta: UST Press, 2010), h. 11.