Moderasi Beragama di Indonesia : Memaknai Corak Islam Indonesia di Era Kekinian

Oleh Nasrullah Nurdin, S.S., Lc., M.Hum
Lihat Buku

Semua pujian hanya milik Allah SWT. Rasa syukur yang tak terhingga atas segala bentuk karunia-Nya kepada penulis sehingga bisa menyelesaikan buku ini. Selawat dan salam semoga tercurahkan kepada baginda Rasulullah Muhammad SAW, terkirim juga untuk keluarga, sahabat, keturunan-Nya, tâbi’în, tâbi’it tâbi’în, seluruh followers-Nya, semoga kita segenap umat-Nya memperoleh syafâ’atul ‘uzhma (pertolongan yang agung) dari-Nya di hari pembalasan kelak. Amîn yâ Arhamar Râhimîn.

Dinamika Islam selalu terjadi di mana-mana termasuk di Indonesia. Dinamika tersebut terlihat dari munculnya berbagai trend gerakan Islam baik dari segi politik, pemikiran, sosial, maupun budaya. Banyaknya trend tersebut mengundang khalayak dan juga para pengamat untuk melakukan kategorisasi-kategorisasi (atau tipologi-tipologi) berdasarkan karakteristik dan kecenderungan gerakan-gerakan. Walhasil, muncullah ajektif-ajektif setelah kata “Islam”, misalnya Islam radikal, Islam liberal, Islam tradisional, Islam moderat, dan lain sebagainya.

Ada Islam moderat, sebagaimana Kristen moderat, Yahudi moderat, Hindu moderat, Buddha moderat, atau bahkan Marxisme moderat. Namun, akhir-akhir ini, kata Islam moderat lebih sering dihadap-hadapkan dengan “Islam radikal” atau “terorisme”. Apakah Islam moderat sudah tepat dibanding-bandingkan dengan Islam radikal? Siapa yang tepat disebut sebagai muslim moderat, dan bagaimana karakternya ? (Rahmatullah, Islam Moderat dalam Perdebatan, Juli 2011 : 40). 

Seperti kita pahami bersama bahwa sesungguhnya kehadiran radikalisme – konservatisme dapat menghambat sebuah peradaban dan kemajuan. Pandangan seperti ini sudah disinyalir oleh Sir Muhammad Iqbal bahwa konservatisme agama dapat menghambat lajunya suatu peradaban, dan bahkan dapat menghancurkan martabat kemanusiaan. Kita dapat menyaksikan pasca Arab Spring, bagaimana negara-negara Timur Tengah mengalami keadaan terseok-seok oleh hantaman radikalisme agama, seperti: di Yaman, Irak, Suriah, Sudan, dan Mesir.

Bahkan, dalam peristiwa Boko Haram mereka menghancurkan manuskrip-manuskrip (makhthûthât), artefak-artefak sejarah yang bernilai historis sangat tinggi. Mereka melakukan pembumihangusan peradaban yang telah dibangun ribuan tahun silam. Hal ini merupakan kerugian yang amat dahsyat bagi keberlangsungan peradaban umat manusia. Apa yang dilihat oleh dunia terhadap kebrutalan ISIS (Islamic State of Irak and Syiria), Boko Haram yang tidak menghargai kemanusiaan, dan bahkan merendahkan martabat perempuan itu sangat berbahaya bagi keberlangsungan kehidupan berbangsa dan bernegara.

Sebagai negara yang plural dan multikultural, konflik berlatar agama sangat potensial terjadi di Indonesia. Itu mengapa kita perlu moderasi beragama sebagai solusi alternatif, agar dapat menjadi kunci penting untuk menciptakan kehidupan keagamaan yang rukun, harmoni, toleran, inklusif, damai, serta menekankan pada keseimbangan, baik dalam kehidupan pribadi, keluarga, masyarakat, maupun dalam kehidupan sesama manusia secara keseluruhan. Lebih dari itu, cara pandang dan praktik moderasi dalam beragama bukan hanya kebutuhan masyarakat Indonesia, melainkan kebutuhan global masyarakat dunia. Moderasi beragama mengajak kaum ekstrem kanan dan ekstrem kiri, kelompok beragama yang ultra­konservatif dan liberal, untuk sama­sama mencari persamaan dan titik temu di tengah, menjadi umat yang moderat. (Tim Penulis buku Moderasi Beragama Kementerian Agama RI, 2019 : 12). 

Sikap moderat memang sikap terpuji. Moderat secara hemat berarti: selalu tahu diri, tidak melebih-lebihkan, melihat kebaikan posisi-posisi yang berbeda, toleran terhadap mereka yang berbeda. Akan tetapi, supaya moderasi agama dapat menjadi semboyan yang meyakinkan, perlu ada tambahan. Yaitu bahwa hanya keagamaan yang moderat adalah keagamaan yang betul. Kalau tidak, orang akan bilang, saya harus setia pada agama saya, entah moderat atau tidak. Tetapi kalau bisa diperlihatkan bahwa keagamaan yang tidak moderat, yang ekstrem, bukan keagamaan yang benar/sejati, melainkan bahwa agama sendiri menuntut sikap moderat, maka orang bisa diyakinkan untuk mau beragama secara moderat. Ia mau moderat, karena moderat adalah ciri keagamaan yang benar. Tentu itu tidak mengenai keagamaan pada umumnya – orang beragama yakin peduli amat dengan keagamaan umum – melainkan secara spesifik bagi agama yang dianut. (Franz Magnis-Suseno, Makalah FGD Pengarustamaan Moderasi Beragama di Hotel Aryaduta, Jakarta, 25 Pebruari 2019). 

Khusus dalam konteks Indonesia, moderasi beragama diperlukan sebagai strategi kebudayaan kita dalam merawat keindonesiaan. Sebagai bangsa yang sangat heterogen, sejak awal para pendiri bangsa sudah berhasil mewariskan satu bentuk kesepakatan dalam berbangsa dan bernegara, yakni Pancasila dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), yang telah nyata berhasil menyatukan semua kelompok agama, etnis, bahasa, dan budaya. Indonesia disepakati bukan negara agama, tapi juga tidak memisahkan agama dari kehidupan sehari­hari warganya. Nilai­nilai agama dijaga, dipadukan dengan nilai­nilai kearifan dan adat­istiadat lokal, beberapa hukum agama dilembagakan oleh negara, ritual agama dan budaya berjalin berkelindan dengan rukun dan damai.

Itulah sesungguhnya jati diri Indonesia, negeri yang sangat agamis, dengan karakternya yang santun, toleran, dan mampu berdialog dengan keragaman. Ekstremisme dan radikalisme niscaya akan merusak sendi­sendi keindonesiaan kita jika dibiarkan tumbuh berkembang. Karenanya, moderasi beragama amat penting dijadikan cara pandang dan arus utama. (Tim Penulis buku Moderasi Beragama Kementerian Agama RI, 2019 : 10-11).

 Moderasi beragama secara praktis adalah proses memahami sekaligus mengamalkan ajaran agama secara adil dan seimbang, agar terhindar dari perilaku ekstrem atau berlebih-lebihan saat mengimplementasikannya. Moderasi beragama bukan berarti memoderasi agama, karena agama dalam dirinya sudah mengandung prinsip moderasi, yaitu keadilan dan keseimbangan. Bukan agama jika ia mengajarkan perusakan di muka bumi, kezaliman, dan angkara murka. Agama tidak perlu dimoderasi lagi. Namun, cara seseorang beragama harus selalu didorong ke jalan tengah, harus senantiasa dimoderasi, karena ia bisa berubah menjadi ekstrem, tidak adil, bahkan berlebih-lebihan.

Kodratnya, manusia adalah makhluk dengan keterbatasan pengetahuan dalam memahami semua esensi kebenaran Pengetahuan Tuhan yang luas dan dalam, bak samudra. Keterbatasan ini yang mengakibatkan munculnya keragaman tafsir ketika manusia mencoba memahami teks ajaran agama. Kebenaran satu tafsir buatan manusia pun menjadi relatif, karena kebenaran hakiki hanya milik-Nya. (Kata Pengantar Menag RI dalam Moderasi Beragama, Balitbangdiklat Kementerian Agama RI, 2019).  

Moderasi beragama difahami sebagai sikap beragama yang seimbang antara pengamalan agama sendiri (eksklusifisme) dan penghormatan kepada praktek beragama orang lain yang berbeda keyakinan (inklusifisme). Keseimbangan atau jalan tengah (middle path) dalam pengamalan agama yang luhur ini diyakini akan menghindarkan masyarakat dari sikap ekstrim dan eksklusif yang berlebihan dalam beragama.

Karenanya, kewajiban setiap umat beragama adalah meyakini tafsir kebenaran yang dianutnya, seraya tetap memberikan ruang tafsir kebenaran yang diyakini oleh orang lain. Memang, dalam praktiknya, sebagai manusia dengan pengetahuan terbatas, seseorang sangat mungkin terperosok dalam bentuk pemahaman yang ekstrem dan berlebih-lebihan saat mempelajari ajaran agama. Kini, berkat bantuan teknologi komunikasi, sistem informasi, revolusi industri 4.0 dan digitalisasi, ajaran agama yang berlebih-lebihan itu pun kian mudah tersebar luas, dan lalu berdampak pada rusaknya tatanan sosial kehidupan bersama. Karenanya, moderasi beragama tepat menjadi obat penawar bagi munculnya ekstremitas dalam mempraktikkan ajaran agama. (Tim Penyusun Tanya Jawab Moderasi Beragama Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI, 2019 : 3).

Di era yang dikenal sebagai era millennial, disrupsi dan orkestrasi ini, ketika semua informasi dapat diperoleh secara mudah dan instan, hubungan antar kelompok masyarakat semakin cair dan tanpa batas. Moderasi beragama kemudian menjadi keniscayaan. Bahkan di tahun 2019 kemarin, Majelis Umum PBB menetapkannya sebagai Tahun Moderasi Internasional (The International Year of Moderation). Dan menyusul pula Kemenag RI tahun 2019 menjadikan Moderasi Beragama sebagai mainstreaming sehingga melekat menjadi cara pandang, baik bagi setiap individu maupun, dan dijadikan program nasional dan telah masuk ke dalam rumusan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) Tahun 2020-2024. Singkat kata, moderasi bukan hanya kebutuhan masyarakat Indonesia, tapi dunia seluruhnya. 

Kelompok Baby Boomers, Gen X, Gen Y dan Gen Z amat perlu pada asupan ajaran agama di era revolusi industri 4.0 ini, terlebih kamu milenial. Kaum muda milenial (Gen Y) pada dasarnya juga sangat membutuhkan agama dalam kehidupan sehari-harinya. Hanya saja, mereka memiliki karakter dan imajinasi tersendiri dalam beragama, dalam mencari pengetahuan agama / belajar agama, serta dalam menentukan tokoh panutan agama. Imajinasi mereka otomatis dipengaruhi oleh perkembangan teknologi informasi yang sejak lahir telah menjadi ‘rumah’ mereka. Karenanya, kaum muda milenial harus terlibat langsung dalam merumuskan dan memproduksi bentuk-bentuk kreasi materi agama seperti apa yang perlu disediakan. (Tim Penyusun Bangga Menjadi Indonesia, Modul Beragama dan Bernegara Kementerian Agama RI 2019 : 2-13).

Dikutip dari buku Moderasi Beragama Terkini di Indonesia lihat buku
Penulis : Nasrullah Nurdin, S.S., Lc., M.Hum
Penerbit : Wawasan Ilmu
Tahun Terbit : 2022

One thought on “Moderasi Beragama di Indonesia : Memaknai Corak Islam Indonesia di Era Kekinian

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Shopping cart

close