Deskripsi
Medio 2016, takdir membawa saya hidup sangat jauh, di sebuah tanah yang aduhai indah di foto-foto. Betapa banyak anak manusia di negeriku bermimpi ke sana. Kali ini tidak sekolah, tapi menemani suami sekolah. Posisi itu sempat membuat saya jungkir balik menata hati, menata pikiran, dan kebiasaan tentunya. Tinggal hanya di rumah, bolak-balik dapur dan mengurus rumah. Sesuatu yang berada di luar garis rutinitas saya yang sebelumnya mondar-mandir kampus, perpustakaan, ruang seminar, dan seterusnya. Oh tapi sesuatu baru saya sadari, saya belajar sangat banyak di sana. Di tanah itu, juga dengan posisi sebagai istri “stay at home”, ternyata saya belajar berbahagia dengan hanya melihat jemuran kering atau berhasil mengeksekusi resep coto Makassar. Di masa itu, saya melihat kaki-kaki orang Belanda yang panjang dan terburu-buru menuju tempat kerja di tengah cuaca -5 derajat. Di masa itu, saya melihat keluarga cemara yang ayahnya sekolah sambil menghidupi 3 anak dan seorang istri dengan tanpa beasiswa sama sekali di tahun-tahun terakhir masa studinya, melalui orderan makanan tiap hari yang dibuatnya sendiri dengan tangannya. Di masa itu, saya menyaksikan seorang buta menyeberang jalan dengan anggunnya dengan hanya mengandalkan tongkat dan akses jalan ramah difabel yang disediakan pemerintah. Di saat yang sama, saya menyaksikan air mata yang tumpah karena seorang teman kehilangan orang tua terkasih yang jauh di Indonesia dan tak sempat bahkan untuk melihat jasad orang terkasih diantarkan ke pemakamannya. Semua cerita itu, dengan terang dan gelapnya, terkumpul dalam buku catatan perjalanan ini.
Ukuran: 14 x 20 cm
Tebal : 225 halaman
Ulasan
Belum ada ulasan.